- Model Institusi Pengelolaan Wakaf Yang Efektif Untuk Kasus Indonesia
Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah dilakukan oleh institusi Baitul Mal. Baitul Mal merupakan institusi dominan dalam sebuah pemerintahan Islam ketika itu. Baitul Mal-lah yang berperan secara konkrit menjalankan program-program pembangunan melalui divisi-divisi kerja yang ada dalam lembaga ini, disamping tugas utamanya sebagai bendahara negara (treasury house).
Dengan karakteristiknya yang khas, wakaf memerlukan manajemen tersendiri dalam lembaga Baitul Mal. Baitul Mal harus menjaga eksistensi harta wakaf dan keselarasannya dengan niat wakaf dari wakif. Sehingga dalam konteks perekonomian kontemporer yang tidak (belum) menjadikan Baitul Mal sebagai institusi negara khususnya di indonesia, diperlukan modifikasi institusi dalam pengelolaan wakaf profesional –produktif yang menggelola aset wakaf tidak saja wakaf fixed asset tapi juga cash waqf ini.
Karena terdapat kebebasan memberikan jumlah wakaf tunai (cash waqf), institusi wakaf dapat membatasi alternatif tujuan wakaf dari masyarakat (pos penerimaan sekaligus penggunaan uang wakaf), agar dapat optimal pemanfaatan wakaf tunai tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terlalu sedikitnya wakaf tunai yang terkumpul dalam rangka memenuhi niat akad dari para wakif. Jadi pos wakaf tunai dibatasi sesuai dengan program kebutuhan masyarakat luas seperti pos pendidikan (misalnya peruntukan gedung sekolah, gedung dakwah, dan lain-lain), pos masjid dan pos fasilitas umum (misalnya peruntukan jalan raya, jembatan, dan lain-lain). Banyaknya pos tergantung pada banyaknya keinginan masyarakat dalam mewakafkan hartanya pada maksud tertentu.
Namun, pada wakaf yang mutlak, artinya tidak ditentukan tujuan dari pemberian wakaf secara spesifik oleh wakif, maka kebijakan institusi wakaflah yang berperan dalam hal keputusan penggunaannya, tentu saja mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan masyarakat. Pada wakaf tunai yang memiliki definisi dan aplikasi seperti yang dilakukan oleh Prof. M.A. Mannan, sebaiknya memang menjadi kesepakatan para ulama berikut intelektual agar aplikasinya tidak menemui hambatan-hambatan yang kemudian mengganggu jalannya perekonomian secara keseluruhan.
Untuk konteks Indonesia, lembaga wakaf yang secara khusus akan mengelola wakaf dalam bentuk fixed asset dan cash waqf dan beroperasi secara nasional itu berupa Badan Wakaf Indonesia (BWI). Tugas dari lembaga ini adalah mengkoordinir nazhir-nazhir (membina) yang sudah ada dan atau mengelola secara mandiri terhadap harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai.
Sedangkan, wakaf yang ada dan sudah berjalan di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk wakaf benda tidak bergerak (fixed Asset), maka terhadap wakaf dalam bentuk itu perlu dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf yang mempunyai nilai produktif perlu di dorong untuk dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif. Hasil dari pengembangan wakaf yang dikelola secara profesional dan amanah oleh lembaga-lembaga kenazhiran dan BWI sendiri kemudian dipergunakan secara optimal untuk keperluan sosial, seperti untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembanganrumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat dan bantuan atau pengembangan sarana prasarana ibadah.
Untuk itulah Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mempunyai fungsi sangat strategis harus segera dibentuk dan diharapkan dapat membantu, baik dalam pembiayaan, pembinaan maupun pengawasan terhadap para nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Pembentukan BWI bertujuan untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan secara nasional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya yang berkaitan dengan tanah wakaf produktif strategis khususnya benda wakaf terlantar dan internasional dan promosi program yang diadakan oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam dan umat lain pada umumnya. BWI ini sebaiknya profesional independen dan pemerintah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, motivator dan regulator.
Pola organisasi dan kelembagaan BWI harus merespon terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Di tingkat masyarakat, persoalan yang paling mendasar adalah kemiskinan, baik dalam arti khusus, yaitu seperti yang dicerminkan dengan tingkat pendapatan masyarakat, maupun dalam arti luas, yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan atau pemenuhan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Persoalan-persoalan tersebut juga bisa disebut sebagai persoalan umat Islam juga. Tapi dari sudut organisasi-organisasi Islam, persoalan-persoalan itu menjadi tanggung jawab gerakan Islam juga. Tapi dari sudut misi organisasi, persoalan itu menjadi tanggung jawab gerakan Islam. Oleh sebab itu, organisasi-organisasi Islam berkepentingan juga untuk mengakses sumber daya wakaf.
Untuk mengatasi masalah-masalah sosial, wakaf merupakan sumber dana yang cukup potensial. Selama ini, program pengentasan masyarakat dari kemiskinan bergantung dari bantuan kredit dari luar negeri, terutama dari Bank Dunia. Tapi dana itu terbatas dari segi jumlah maupun waktu. Dalam hal ini pengembangan tanah wakaf produktif strategis dapat menjadi alternatif sumber pendanaan dalam pemberdayaan ekonomi umat secara umum. Di Qatar dan Kuwait, dana yang dihasilkan dari wakaf, bersama-sama dengan sumber lain, khususnya zakat, dana wakaf yang di peroleh dari pengusahaan tanah wakaf, misalnya di bidang real estate atau pendirian gedunggedung perkantoran yang disewakan atau dikelola sendiri, dipakai untuk membiayai program kemiskinan, baik langsung oleh pemerintah maupun disalurkan lewat LSM.
Benda-benda wakaf produktif bisa dikerjakan secara kolektif, tapi bisa pula dikerjasamakan dengan pihak swasta profesional, baik dalam maupun luar negeri. Proyek-proyek yang dikerjakan bisa berupa pertanian padi sawah atau palawija, sehingga bisa menghasilkan cadangan pangan dan lumbung bibit, pertenakan perikanan dan perkebunan. Model ini merupakan analogi dari wakaf ahli, dimana wakif memberikan wasiat agar hasil pengelolaan wakaf dapat dipakai untuk menyantuni anggota keluarga yang kekurangan atau membutuhkan dana. Dalam model ini anggota keluarga besar seseorang diperluas menjadi warga desa, sehingga setiap bagian warga desa yang mengalami kemiskinan dan kesulitan lain seperti kesehatan dan pendidikan, dapat disantuni dari dana hasil pengelolaan wakaf tersebut. Model ini dapat diterapkan secara nasional. Karena itu untuk merespon model ini, lembaga nazhir bisa didirikan di setiap desa.
Untuk menjalankan semua rencana praktis di atas, maka peran BWI sebagai lembaga pengelola harta (dana tunai) wakaf secara nasional, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar mempunyai kemampuan dan kemauan dalam mengelola wakaf, berdedikasi tinggi dan memiliki komitmen dalam pengembangan wakaf serta memahami masalah wakaf serta hal-hal yang terkait dengan wakaf. Organisasi badan wakaf ini sebaiknya ramping dan solid dan anggotanya harus terdiri dari para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang ada kaitannya dengan pengembangan wakaf produktif, seperti: ahli hukum pidana dan perdata baik nasional maupun internasional, ulama hukum Islam (fikih wakaf, ushul fikih), ulama ahli tafsir, ekonom, praktisi bisnis, arsitektur, penyandang dana, sosiolog, ahli perbankan Syari’ah, dan cendekiawan lain yang memiliki perhatian terhadap perwakafan secara umum.