Analisis Fiqh Terhadap Pembulatan Harga Pada Pasar Swalayan

Model pembulatan atau penggenapan harga di swalayan.

Masyarakat saat ini memang lebih banyak memilih untuk berbelanja di pasar-pasar swalayan yang kini telah banyak dijumpai diberbagai tempat. Mereka merasa lebih nyaman dan lebih praktis bila berbelanja di pasar swalayan, tidak perlu susah-susah menawar, dan tidak harus merasakan pengapnya udara pasar. Tetapi dengan memilih untuk berbelanja di pasar swalayan berarti masyarakat harus sedikit membayar lebih mahal dari pada harga di pasar tradisional.

Saat ini penyediaan uang receh memang menjadi suatu masalah yang klasik bagi para pedagang. Hal ini memaksa para pedagang sendiri, khususnya pengelola pasar swalayan melakukan praktek penggenapan uang sisa pembelian. Dan praktek penggenapan seperti ini banyak dijumpai di berbagai pasar swalayan di indonesia dan mungkin juga seluruh dunia.

Menurut berbagai pandangan masyarakat, untuk mendapatkan uang pecahan kecil di Swalayan juga telah melakukan beberapa usaha, antara lain menukarkan uang di bank, menerima penukaran dari pengamen, pengemis, tukang parker, pedagang asongan dan swalayan juga memperolehnya dari penukaran dengan pengelola kotak amal.

Dalam menggenapkan uang sisa di swalayan biasanya hanya menggenapkan uang sisa pembelian yang mempunyai nominal Rp. 50,-, misalnya bila menunjukkan Rp. 1.950,- maka kasir akan meminta pembeli untuk membayar Rp. 2.000,-. Terkadang bila belamjaan pembeli Rp. 1.550,- maka kasir hanya akan meminta Rp. 1.500,- saja. Dan apabila memang masih ada persediaan uang receh, maka pembeli tetap akan menerima uang kembalian sesuai yang tertera dalam struk belanja tanpa ada penggenapan.

 

Analisis fiqih terhadap penggenapan atau pembulatan harga di swalayan.

Dari pandangan masyarakat yang diperoleh bahwa penggenapan atau pembulatan uang sisa pembelian terjadi bukanlah kesalahan dari pihak pengelola tetapi lebih dikarenakan keadaan yang menyulitkan sehingga memaksa pihak swalayan untuk memberlakukan hal tersebut.

Keadaan sulit yang dialami oleh swalayan tersebut dapat diklarifikasikan sebagai kesulitan ghairu mu’tadah yaitu kesulitan yang tidak pada kebiasaan dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu dan jika dilihat dari tingkatannya, kesulitan tersebut termasuk dalam tingkatan kesulitan mutawasithoh, yaitu kesulitan yang berada ditengah-tengah antara yang berat dan yang ringan, dimana berat ringannya kesulitan tersebut tergantung pada persangkaan manusia.[1]

Bila dilihat dari kaidah fiqih al-masyaqotu tajlibu at-taisiir, penggenapan uang sisa pengembalian dan penggantian uang sisa pembelian dengan permen di swalayan, dibenarkan dalam fiqih. Karena kondisi kelangkaan uang pecahan kecil tersebut memang benar-benar kesulitan yang tidak pada kebiasaan (ghoiru mu’tadah), hal ini diperkuat meskipun telah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang kecil tetapi tetap tidak bisa  menvukupi kebutuhan. Sehingga dalam keadaan tersebut pihak pengelola swalayan bisa diberikan dispensasi (rukhsah).

Bila dicermati lagi penggenapan uang sisa pengembalian dan penggantian uang sisa pembelian dengan permen di swalayan terdapat jual beli baru atau akad jual beli tambahan. Dengan menerima uang sisa pembelian dalam bentuk permen, berarti secara tidak langsung kita telah membeli permen tersebut. Hukum kedua akad tersebut adalah diperbolehkan dalam fiqih, kedua akad tersebut termasuk akad jual beli mu’athoh yang telah diperbolehkan oleh jumhur ulama.[2]

Bai ‘al-Mu’athoh adalah mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan Kabul. Contohnya seperti seseorang yang membeli barang di minimarket yang mana label harganya sudah tertera pada barang tersebut.

Menurut sebagian Ulama Syafi’I hal ini dilarang karena tidak ada ijab Kabul yang merupakan rukun jual beli. Sedangkan sebagian Ulama Syafi’I yang lainnya memungkinkan jual beli tanpa ijabKabul seperti itu[3].

Tetapi tanggapan masyarakat juga berbeda-beda mengenai hal ini, ada yang memakluminya dan ada juga yang masih tidak terima tentang hal ini. Kekurang puasan pembeli dalam hal ini tidak dapat merusak sah nya akad, sebab pembeli dalam hal ini masih bisa khiyar (memilih atau meminta apa yang disenanginya).


[1]    mawarsurgawi.blogspot.com/2011/04/ushul-fiqih.html –

[2] Triana, Riska. Skripsi: Analisis Fiqih Terhadap praktek pengembalian Uang Sisa

Pembelian, Ed. STAIN, et, al, Ponorogo, 2008.

Tinggalkan komentar